Sabtu sore (15 Des
'12), bahkan sudah menjelang magrib. Mobil yang kami tumpangi baru bergerak
menuju Berastagi. Ya, aku beserta 10 adik-adik mentoring berangkat dengan full
semangat untuk menaklukkan gunung yang terkenal dengan medannya yang sulit dan
terjal; Gunung Sinabung. Sepanjang perjalanan aku masih merasa ragu dan
gelisah, mengingat bahwa tidak ada satupun dari mereka (adik-adik mentoring)
yang pernah naik Gunung. Tentu saja mereka sangat minim pengalaman. Bahkan
awam. Aku takut terjadi apa-apa di perjalanan nanti. Untungnya salah seorang
sahabat setiaku di Kehutanan, Iqbal, mau ikut menemani pendakian ini.
Alhamdulillah, aku mendapat bantuan tenaga dalam membersamai mereka.
Kami baru tiba di
danau Lau Kawar sekitar pukul sepuluh malam. Itupun harus menaiki angkot sewaan
-tentu saja dengan membayar ongkos lebih- karena sudah tidak ada lagi jasa
transportasi yang beroperasi pada malam hari. Belum sempat kami semua turun
dari angkot, kami langsung didatangi oleh dua pemuda yang meminta uang
retribusi (3000/org) atas kunjungan ke Lau Kawar. Setelah membayar
"kewajiban" kami segera mencari tempat shalat dan peristirahatan
sementara, sebelum kami melakukan peendakian. Kami menuju sebuah kedai yang menyediakan tempat shalat. Kemudian kami makan dan beristirahat sebentar.
Rehat sejenak, sebelum pendakian. |
Pukul 01.00. Kami
siap bergerak menaklukkan Gunung Sinabung. Sedang menyiapkan perlengkapan, kami
kembali didatangi oleh dua pemuda (bukan dua pemuda yang sebelumnya) untuk
meminta laporan sekaligus pendataan, dan tentu saja pemungutan uang retribusi
(5000/ org). Kami dijelaskan tentang kondisi medan dan kemudian diantarkan
sampai ke gerbang keberangkatan (dekat sebuah Villa). Sebelum memulai
perjalanan aku berpesan kepada semua adik-adik kelompokku untuk dapat menjaga
adab dan akhlak selama melakukan pendakian. Kami memulai agenda pendakian ini
dengan do'a yang aku pimpin.
Belum seberapa jauh,
kami menemui jalan buntu. Iqbal langsung mengontak ke yang sebelumnya melakukan
pendataan untuk meminta penjelasan tentang rute pendakian. Pemuda itu meminta
agar kami menunggu beberapa saat agar bisa bertemu dengan kelompok pendaki
lainnya yang lebih hafal rute pendakian yang juga baru berangkat. Tak lama
kemudian kami melihat ada beberapa sorotan senter di belakang kami. Iqbal
memberikan tanda dengan lampu merah agar mereka melihat ke arah kami. Mereka
membalas dengan kerdipan lampu senter dengan maksud "memanggil" (agar kami
mendatangi mereka). Setelah datang menemui mereka dan saling berkenalan, kami
ditunjukkan ke jalan yang benar :D. Ya, ternyata kami salah mengambil jalan di
sebuah persimpangan. Akhirnya kita memutuskan untuk bersama-sama melakukan
pendakian.
Masih belum mencapai
pos 1. salah seorang pendaki dari kelompok yang membersamai kami merasa
kelelahan. Setelah beristirahat sebentar mereka meminta agar kelompok kami
untuk duluan saja. Karena melihat kondisi salah
seorang pendaki mereka yang sangat kelelehan, tentu mereka akan lebih sering
berhenti beristirahat dan akan lambat melakukan pendakian. Setelah berdiskusi sebentar akhirnya kami sepakat untuk
duluan.
Sebenarnya aku juga
tidak terlalu hafal dengan rute pendakian ini. Tapi aku berusaha menyembunyikannya
agar tidak meresahkan adik-adik mentoringku. Aku sebagai guide (perintis) yang
berada paling depan benar-benar harus jeli melihat dan mengingat jalan. Karena ada banyak simpang yang
akan ditemui selama pendakian. Bahkan seringkali aku harus berjalan mendahului
kelompok untuk memastikan jalan itu buntu atau tidak. Walaupun ada hal-hal aneh
ataupun cerita-cerita mistis para pendaki yang terfikirkan olehku tapi berusaha
aku selalu berusaha menepisnya dengan memperbanyak dzikir dan mengingat-Nya.
Namun kurang lebih sudah setengah jalan pendakian kembali kami menemui jalan
buntu. Aku benar-benar bingung. Aku yakin jalan yang kami lalui tidak salah.
Akhirnya kami memutuskan untuk menyebar hingga akhirnya salah seorang adik
mentoringku, Pikri, menemukan kembali
jalan utamanya.
Setengah jalan. |
Walaupun cukup
banyak berhenti untuk berisitirahat tapi aku salut dengan mereka, adik-adik mentoringku. Kami sudah
berada di cadas sekitar pukul 04.00. dan kami benar-benar menginjakkan kaki di
puncak Sinabung yang sangat dingin pukul 05.15. Sungguh diluar dugaanku.
Melihat mereka semua yang sama sekali belum ada pengalaman mendaki, aku
beranggapan kami baru akan mencapai puncak sekitar pukul delapan pagi. Tapi
ternyata aku salah. Aku terlalu menyepelekan semangat mereka yang menggebu :D
***
Kondisi puncak
memang teramat dingin. Kami semua menggigil kedinginan. Setelah shalat subuh
kami merebahkan badan; tanpa tenda, mantel, ataupun sleeping bed. Hanya jaket
seadanya. Bahkan hingga pukul 08.00 suhu udara tetap saja terasa dingin karena
sengatan mahatari terhalang kabut tebal. Setelah berkeliling sejenak dan
berfoto kami memutuskan untuk segera turun. Dinginnya puncak Sinabung yang
menusuk tulang seakan menyuruh kami untuk segera turun dan pulang...
Foto pulang, membelakangi panorama Lau Kawar |