Minggu, 28 Juli 2013

Langit Temaram Suram


Ku buka jendela kamarku pagi ini. Di sela-sela dedaun pohon kuini yang menengadah ke arahku, kusaksikan gelut gereja, pipit, dan kolibri. "Ah... Pagi yang indah", batinku. Walau langit tak sempurna cerah, tapi cantiknya mega biru masih menyembul, melatarbelakangi awan keemasan nan megah.

Tapi tetap saja hatiku belum lepas, hatiku tak puas. Mengingat kemarin aku kembali kehilangan saudaraku. Tidak hanya satu, atau dua... Tapi ratusan kasihku telah syahid di tanah Nabi Yusuf dan Musa. Entah siapa lagi kasihku yang namanya akan tergurat dalam nisan hari ini.

Aku sungguh tidak ikhlas. Menyaksikan kasihku menjadi korban kebinatangan dari segerombolan jasad-jasad boneka Amerika. Ah... Lagi-lagi Amerika...

Ya... Sudah tiga pekan ini saudaraku dihabisi. Darah mereka sengaja dicecerkan untuk menyenangkan hati sang petinggi. Penguasa yang mencuri... Tidak... Sang penguasa itu tidak mencuri... tapi merampok konstitusi dan memperkosa demokrasi. Ia mempertontonkan kebiadabannya sebagai hiburan para tuan, yang menyokongnya dari belakang dengan senjata dan uang.

Ah... Semua ini telah membuatku lupa bagaimana cara bersabar, melihat kasihku dipanggang di bara peperangan yang berkobar. Bahkan lembar cerita suriah masih belum ditutup, sedangkan kisah baru sudah dibuka dan sudah terlalu jauh dimainkan. Dan saudaraku disini juga sungguh tidak piawai memainkan peran. Mereka yang dituntut untuk berdoa dan bersiap-siaga malah tertawa, berleha, dan tidur nyaman.

Aku gemetar... Aku gamang... Sampai khusyukku hilang karena hati terus mengumpat para munafik yang memfitnah, membunuh, dan menebar kebencian. Aku ingin pulang, pulang ke medan juang untuk membersamai mereka yang istiqomah dalam lelah melawan tirani kedzaliman. Sungguh, Iri rasanya pada mereka yang tersenyum puas ketika peluru-peluru tajam menembus dada dan otak mereka. Walau jasad mereka diinjak dan dilecehkan, tapi mereka telah menang!

Ah...  Ternyata pagi ini masih suram. Semoga esok sudah tamat cerita duka dari kasihku di negeri-negeri seberang. Atau mungkin aku harus kesana menebus hutang janjiku berjumpa senapan yang mengerang dan kilatan pedang.

Rabu, 24 Juli 2013

22


22 tahun sudah waktu ku pakai,
Mengarungi samudera dunia beriak badai,
Tak banyak kebaikan yang bisa kucapai,
Harap terus bertambah hingga jasad membangkai...
Waktu bergulir begitu cepat,
Ditambah jatah hidup yang hanya singkat,
Ku mengolok diri yang tak banyak berbuat,
Menutupi malu menyaksikan akhlakku nan cacat...

Katanya aku sudah dewasa,
Bila mati maka amalku sudah tentu ditanya,
Entah berapa tinggi tumpukan dosa,
Sedangku bangga dengan secuil pahala...
Mungkin saja waktu yang kuhabiskan tak setimpal,
Dibandingkan sisa waktu hidup yang tinggal,
Rasanya sudah saatnya aku berbekal,
Sebelum hayat dijagal ajal...

22 tahun sudah masa kuhabiskan,
Mencicipi dunia penuh tipuan,
Berteman amal dan sedikit iman,
Kuberani menikmati hidup yang melenakan...
Sebelum badan ini dikubur,
Moga ku sadar dan berkenan bertafakur,
Ketika hati dan tangis melebur,
Mengingat mati moga imanku subur...

Katanya kematian itu pasti,
Dan saat ini aku juga ikut menanti,
Entah mati seperti apa yang akan kutemui,
Sambil tetap berbekal agar tak merugi...
Tidak mengapa bila masa laluku kelam,
Bahkan ku tak peduli walau pekat menghitam,
Karena yakin esok tak lagi suram,
Dengan Cinta dan Ridho-Mu penuh kugenggam...


Ramadhan Kali Ini

Ini Ramadhan yang berat. Tentu saja! Tanpa kehadiranmu sungguh terasa ada yang kurang dari kebahagiaan Ramadhan yang kami rasa.

Ya, ini Ramadhan pertama yang kami lalui tanpa Papa. Sungguh sangat berat. Kami harus mampu bersabar dan membiasakan diri dengan suasana yang benar-benar berbeda dari Ramadhn-Ramadhan sebelumnya. Karena tidak ada lagi yang akan meramaikan suasana berbuka puasa, tidak ada lagi terdengar kumandang adzan khas Papa yang selalu menggema, tidak ada lagi terdengar lantunan bacaan al-Qur'an Papa di malam hari ketika tilawah atau ketika mengimami shalat Tarawih di Surau, tidak ada lagi yang segera membangunkanku ketika sahur dan mengajakku untuk melaksanakan Tahajud, Tidak ada lagi terdengar tangis doa seorang ayah yang mendoakan anak-anaknya, tidak ada lagi... tidak ada lagi...

Kami acapkali menangis. Menangis bukan tidak menerima takdir-Nya, tapi tangis tanda cinta dan rindu yang mendalam. Nuansa duka amat kental terasa. Ketika berbuka, sahur, tilawah, dan dalam setiap rakaat munajat kami masih belum bisa bercerai dengan air mata. Berharap dengan pengharapan dan do'a dapat menyenangkan Papa disana.

Walau sudah tak ada lagi harapan berjumpa di dunia, semoga kelak di akhirat kita berjumpa di Surga-Nya. Karena sungguh, aku amat bangga memiliki seorang ayah yang  taat, baik, tegas, pemberani, berwibawa, ramah, dan perhatian dengan anak-anaknya. Papa telah memberikan teladan dan pengajaran bagaimana menjadi sosok seorang ayah yang baik dan membanggakan. Bagiku, sosok lelaki terbaik yang pernah ku temui itu adalah Papa. Semoga aku bisa mengambil pelajaran, hingga nantinya anakku juga akan berkata "Sosok lelaki terbaik yang pernah ku temui adalah Ayahku"