Senin, 17 Desember 2012

Mount Sinabung, Has Been Defeated


Sabtu sore (15 Des '12), bahkan sudah menjelang magrib. Mobil yang kami tumpangi baru bergerak menuju Berastagi. Ya, aku beserta 10 adik-adik mentoring berangkat dengan full semangat untuk menaklukkan gunung yang terkenal dengan medannya yang sulit dan terjal; Gunung Sinabung. Sepanjang perjalanan aku masih merasa ragu dan gelisah, mengingat bahwa tidak ada satupun dari mereka (adik-adik mentoring) yang pernah naik Gunung. Tentu saja mereka sangat minim pengalaman. Bahkan awam. Aku takut terjadi apa-apa di perjalanan nanti. Untungnya salah seorang sahabat setiaku di Kehutanan, Iqbal, mau ikut menemani pendakian ini. Alhamdulillah, aku mendapat bantuan tenaga dalam membersamai mereka.

Kami baru tiba di danau Lau Kawar sekitar pukul sepuluh malam. Itupun harus menaiki angkot sewaan -tentu saja dengan membayar ongkos lebih- karena sudah tidak ada lagi jasa transportasi yang beroperasi pada malam hari. Belum sempat kami semua turun dari angkot, kami langsung didatangi oleh dua pemuda yang meminta uang retribusi (3000/org) atas kunjungan ke Lau Kawar. Setelah membayar "kewajiban" kami segera mencari tempat shalat dan peristirahatan sementara, sebelum kami melakukan peendakian. Kami menuju sebuah kedai yang menyediakan tempat shalat. Kemudian kami makan dan beristirahat sebentar.

Rehat sejenak, sebelum pendakian.

Pukul 01.00. Kami siap bergerak menaklukkan Gunung Sinabung. Sedang menyiapkan perlengkapan, kami kembali didatangi oleh dua pemuda (bukan dua pemuda yang sebelumnya) untuk meminta laporan sekaligus pendataan, dan tentu saja pemungutan uang retribusi (5000/ org). Kami dijelaskan tentang kondisi medan dan kemudian diantarkan sampai ke gerbang keberangkatan (dekat sebuah Villa). Sebelum memulai perjalanan aku berpesan kepada semua adik-adik kelompokku untuk dapat menjaga adab dan akhlak selama melakukan pendakian. Kami memulai agenda pendakian ini dengan do'a  yang aku pimpin.

Belum seberapa jauh, kami menemui jalan buntu. Iqbal langsung mengontak ke yang sebelumnya melakukan pendataan untuk meminta penjelasan tentang rute pendakian. Pemuda itu meminta agar kami menunggu beberapa saat agar bisa bertemu dengan kelompok pendaki lainnya yang lebih hafal rute pendakian yang juga baru berangkat. Tak lama kemudian kami melihat ada beberapa sorotan senter di belakang kami. Iqbal memberikan tanda dengan lampu merah agar mereka melihat ke arah kami. Mereka membalas dengan kerdipan lampu senter dengan maksud "memanggil" (agar kami mendatangi mereka). Setelah datang menemui mereka dan saling berkenalan, kami ditunjukkan ke jalan yang benar :D. Ya, ternyata kami salah mengambil jalan di sebuah persimpangan. Akhirnya kita memutuskan untuk bersama-sama melakukan pendakian.

Masih belum mencapai pos 1. salah seorang pendaki dari kelompok yang membersamai kami merasa kelelahan. Setelah beristirahat sebentar mereka meminta agar kelompok kami untuk duluan saja. Karena melihat kondisi salah seorang pendaki mereka yang sangat kelelehan, tentu mereka akan lebih sering berhenti beristirahat dan akan lambat melakukan pendakian. Setelah berdiskusi sebentar akhirnya kami sepakat untuk duluan.

Sebenarnya aku juga tidak terlalu hafal dengan rute pendakian ini. Tapi aku berusaha menyembunyikannya agar tidak meresahkan adik-adik mentoringku. Aku sebagai guide (perintis) yang berada paling depan benar-benar harus jeli melihat dan mengingat jalan. Karena ada banyak simpang yang akan ditemui selama pendakian. Bahkan seringkali aku harus berjalan mendahului kelompok untuk memastikan jalan itu buntu atau tidak. Walaupun ada hal-hal aneh ataupun cerita-cerita mistis para pendaki yang terfikirkan olehku tapi berusaha aku selalu berusaha menepisnya dengan memperbanyak dzikir dan mengingat-Nya. Namun kurang lebih sudah setengah jalan pendakian kembali kami menemui jalan buntu. Aku benar-benar bingung. Aku yakin jalan yang kami lalui tidak salah. Akhirnya kami memutuskan untuk menyebar hingga akhirnya salah seorang adik mentoringku, Pikri,  menemukan kembali jalan utamanya.

Setengah jalan.

Walaupun cukup banyak berhenti untuk berisitirahat tapi aku salut dengan mereka, adik-adik mentoringku. Kami sudah berada di cadas sekitar pukul 04.00. dan kami benar-benar menginjakkan kaki di puncak Sinabung yang sangat dingin pukul 05.15. Sungguh diluar dugaanku. Melihat mereka semua yang sama sekali belum ada pengalaman mendaki, aku beranggapan kami baru akan mencapai puncak sekitar pukul delapan pagi. Tapi ternyata aku salah. Aku terlalu menyepelekan semangat mereka yang menggebu :D

*** 
Kondisi puncak memang teramat dingin. Kami semua menggigil kedinginan. Setelah shalat subuh kami merebahkan badan; tanpa tenda, mantel, ataupun sleeping bed. Hanya jaket seadanya. Bahkan hingga pukul 08.00 suhu udara tetap saja terasa dingin karena sengatan mahatari terhalang kabut tebal. Setelah berkeliling sejenak dan berfoto kami memutuskan untuk segera turun. Dinginnya puncak Sinabung yang menusuk tulang seakan menyuruh kami untuk segera turun dan pulang...


Foto pulang, membelakangi panorama Lau Kawar