Ini
Ramadhan yang berat. Tentu saja! Tanpa kehadiranmu sungguh terasa ada yang
kurang dari kebahagiaan Ramadhan yang kami rasa.
Ya, ini Ramadhan
pertama yang kami lalui tanpa Papa. Sungguh sangat berat. Kami harus mampu
bersabar dan membiasakan diri dengan suasana yang benar-benar berbeda dari
Ramadhn-Ramadhan sebelumnya. Karena tidak ada lagi yang akan meramaikan suasana
berbuka puasa, tidak ada lagi terdengar kumandang adzan khas Papa yang selalu
menggema, tidak ada lagi terdengar lantunan bacaan al-Qur'an Papa di malam hari
ketika tilawah atau ketika mengimami shalat Tarawih di Surau, tidak ada lagi
yang segera membangunkanku ketika sahur dan mengajakku untuk melaksanakan
Tahajud, Tidak ada lagi terdengar tangis doa seorang ayah yang mendoakan
anak-anaknya, tidak ada lagi... tidak ada lagi...
Kami acapkali
menangis. Menangis bukan tidak menerima takdir-Nya, tapi tangis tanda cinta dan
rindu yang mendalam. Nuansa duka amat kental terasa. Ketika berbuka, sahur,
tilawah, dan dalam setiap rakaat munajat kami masih belum bisa bercerai dengan
air mata. Berharap dengan pengharapan dan do'a dapat menyenangkan Papa disana.
Walau sudah tak ada
lagi harapan berjumpa di dunia, semoga kelak di akhirat kita berjumpa di
Surga-Nya. Karena sungguh, aku amat bangga memiliki seorang ayah yang taat, baik, tegas, pemberani, berwibawa,
ramah, dan perhatian dengan anak-anaknya. Papa telah memberikan teladan dan
pengajaran bagaimana menjadi sosok seorang ayah yang baik dan membanggakan.
Bagiku, sosok lelaki terbaik yang pernah ku temui itu adalah Papa. Semoga aku
bisa mengambil pelajaran, hingga nantinya anakku juga akan berkata "Sosok
lelaki terbaik yang pernah ku temui adalah Ayahku"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar